Monday, 10 December 2018

TUJUH TABU MEMBANGUN RUMAH DI KAMPUNG ADAT KUTA



1. Material Rumah

Tidak boleh membuat rumah dari bahan tembok dan atap ber-genting. Atap menggunakan alang-alang atau ijuk. Larangan ini konon agar penghuni rumah tidak seperti dikubur. Apabila rumah menggunakan bahan dari tanah (tembok dan genting) dan ukurannya melebihi batas kepala manusia, itu sama artinya dengan  dikubur.  Menurut istilah kuncen, tidak boleh membuat istana jadi astana (kuburan). Namun demikian apabila dikaitkan dengan kondisi tanah Kuta yang labil maka pemberlakuan larangan tersebut sesungguhnya merupakan upaya adaptasi terhadap kondisi geografis di Kuta. Logikanya,  rumah dari tembok dan beratap genting akan menambah bobot tekanan terhadap tanah sehingga dikhawatirkan rumah akan ambruk.

2.Bentuk Rumah
Rumah harus berbentuk panggung. Larangan ini sesungguhnya dimaksudkan untuk menghindari rayap. Material dari kayu dan bambu rentan terhadap rayap. Sedangkan rayap senang berada pada material yang lembab. Maka... agar rumah tidak lembab, rumah tidak boleh langsung menempel di atas tanah.

3.Arah Hadap Rumah
Arah hadap rumah tidak boleh sembarangan, tapi ditentukan berdasarkan hari kelahiran kepala keluarga:
Kelahiran Senin: menghadap timur utara.
Kelahiran Selasa: menghadap timur utara
Kelahiran Rabu: menghadap selatan barat
Kelahiran Kamis: menghadap timur selatan
Kelahiran Jumat: menghadap timur
Kelahiran Sabtu: menghadap utara
Kelahiran Minggu: menghadap selatan barat.

4.Tata Letak Rumah
Letak antara rumah yang satu dengan yang lain tidak boleh ngagendong (memunggungi), tapi harus berhadapan. Larangan ini supaya apabila tetangga depan rumah mendapat musibah, akan diketahui oleh tetangga depannya. Rumah boleh memunggungi asalkan jaraknya lebih kurang 100m dan biasanya dipisahkan dengan “pagar” (bambu/semak belukar/tanaman).
   
5.Keberadaan Ruang
Pengadaan ruangan di dalam suatu rumah tidak boleh sembarangan. Jumlah ruang di dalam suatu rumah harus menyesuaikan dengan jumlah ruang di rumah yang lebih dulu dibangun di depannya. Apabila di rumah yang lebih dulu dibangun memiliki 4 ruang (enggon, tengah imah, los, pawon) maka rumah yang akan dibangun di depannya juga harus memiliki 4 ruang pula. Selain itu posisi ruang per ruang harus sejajar dengan ruangan rumah di depannya. Misalnya pawon (dapur) berhadapan dengan dapur. Ini dimaksudkan apabila satu rumah sedang memasak tidak akan tercium bau masakannya oleh tetangga depan karena tertutup bau masakkannya sendiri. Dengan demikian kalau tidak bisa membagi masakan dengan tetangga depan tidak masalah. Ruang tamu berhadapan dengan ruang tamu, dimaksudkan apabila tetangga depan kedatangan tamu yang berniat tidak baik, akan segera diketahui oleh tetangga depan, dll. Selain itu, aturan itu juga dimaksudkan untuk kerapian lingkungan. 

6.Tata Letak Rumah Dikaitkan Statusnya dalam Keluarga
Bukan keharusan letak rumah orang tua berdekatan dengan rumah anaknya. Namun apabila rumah orang tua dengan anak berdekatan, maka posisi rumah orang tua harus di sebelah timur rumah anaknya. Apabila rumah antaranak yang satu dan yang lain berdekatan, maka posisi rumah anak yang lebih tua harus di sebelah timur rumah anak yang lebih muda. Menurut kepercayaan leluhur, arah timur merupakan tempat wiwitan, tempat asal.

7.Kondisi Lahan
Tidak semua lahan cocok untuk dibangun rumah bagi sebuah keluarga. Apabila ketentuan yang 6 butir di atas tadi sudah terpenuhi, masih ada satu lagi yang harus dilakukan. Yaitu, mengetes lahan yang akan dibangun rumah, caranya dengan neyag. Neyag ada beberapa tahapan: membuat lubang; padi dililitkan pada seruas bambu yang telah diisi air; padi diletakkan di dalam lubang lalu ditutup dengan kukusan. Neyag dilakukan pada hari kelahiran kepala keluarga akan tepai dijatuhkan pada penaggalan kliwon. Misalnya Rabu kliwon. Neyag dilakukan pada sore hari, bertempat di tengah-tengah areal yang akan dibangun rumah. Apabila pada pagi harinya tidak terlihat butir padi berjatuhan maka tanah tersebut dianggap cocok (Intani).       

Saturday, 8 December 2018

TRADISI NGARAK PANJANG MULUD

Banyak cara untuk merayakan Maulid Nabi. Salah satunya dengan melaksanakan tradisi Ngarak Panjang Mulud. Tradisi ini dilaksanakan oleh hampir semua kecamatan yang ada di Kota Serang Provinsi Banten. Salah satunya adalah Kecamatan Taktakan, yang tanggal 2 Desember 2018 dilaksanakan di Komplek Ciolang Jaya Kelurahan Panggung Jati.

"Panjang Mulud" dibuat oleh tiap-tiap keluarga, sesuai kemampuan masing-masing. Bagi mereka yang membuat, umumnya memasang petasan yang digantungkan di pagar atau pohon depan rumah. Penggunaan petasan untuk menyambut arak-arakkan yang akan lewat sekaligus mengambil "Panjang Mulud" di rumah yang bersangkutan, sebagai pengumuman ke warga kalau arak-arakkan sudah mulai, dan... untuk memeriahkan acara. Sebelum pelaksanaan ngarak, terlebih dulu dilakukan Zikir Mulud (Intani).     


Foto-foto: Oleh Intani

YANG TERCECER DI LAPANGAN III



Kami bertujuh melakukan penelitian di salah satu kampung adat yang berada di sebuah provinsi. Karena perjalanan cukup jauh, baru sore hari kami sampai di sana. Beruntung setelah melapor pada sesepuh adat yang diwakili oleh asistennya,  kami ditawarkan untuk menginap di rumahnya. 
Rumahnya yang beratap rumbia, berdinding bilik, dan beralas bambu yang berfungsi sebagai ubin, terlihat unik bagi kami yang tinggal di kota. Bagian dalam rumah terbagi atas ruang tamu, ruang untuk sesepuh adat “bekerja”, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Ruang tamu dengan ruang untuk sesepuh adat “bekerja” berada dalam satu ruangan yang luas. Tapi posisi ruang tamu lebih rendah dari ruang sesepuh adat.   
Di ruang tamu yang beralas tikar, di situlah tempat kami tidur, berdiskusi dengan teman, makan, membuat laporan, dan lain-lain.  Kami tidak berencana lama di sana, jadi kami harus bekerja di lapangan semaksimal mungkin. Setiap pagi, sehabis sarapan, kami sudah meninggalkan rumah inap, terjun ke lapangan untuk mencari data. Kembali ke rumah inap waktu salat dhuhur dan makan siang, lalu dilanjutkan lagi mencari data, dan baru kembali ke rumah inap sore hari.
Karena rutinitas seperti itu maka hanya usai magriblah kami dapat melihat sosok sang sesepuh adat. Meskipun begitu, meski beberapa hari kami di sana, kami belum sekalipun dapat berkomunikasi secara langsung dengannya. Ketika kami memerlukan informasi dari sesepuh adat dan ingin mewawancarainya, sesepuh adat tidak menemui kami di ruang tamu, melainkan kami yang naik ke “ruang kerja”nya. Di sana kami duduk dekat sang asisten, sedang sesepuh itu sendiri berbaring pada sebuah kasur yang berukuran minimalis. Pertanyaan-pertanyaan kami disambungkan oleh sang asisten kepada sesepuh adat, sambil satu tangan sang asisten mengipasi sang sesepuh yang dalam posisi baring. 

Usai sang asisten menyampaikan pertanyaan dari kami, sang sesepuh menjawab dengan suara perlahan, nyaris berbisik kepada sang asisten. Suara yang sempat terdengar oleh kami, tidak ada yang dapat kami mengerti. Demikian seterusnya alur informasi yang terjadi. Dan…bukan kepada kami saja alur informasi itu berlaku, kepada yang lainpun sama. Maksudnya adalah dengan tamu-tamu yang datang untuk berkonsultasi.  

Ya…sang sesepuh selain sebagai sesepuh adat di kampungnya, ia juga menjadi tempat bertanya orang-orang dari berbagai tempat. Konon, ia dikenal sebagai orang “pintar”,  tidak heran kalau selepas magrib banyak orang datang untuk berkonsultasi. Konsultasi  tentang peruntungan,  penyakit,  hari baik untuk melaksanakan hajat,  jodoh, laku dalam berjualan, dan lain-lain.   

Suatu hari, tiba waktunya kami harus pulang. Usai membereskan semua bawaan, kami berpamitan kepada sang asisten dan istri sang sesepuh selaku tuan rumah. Tak dinyana, tidak lama menyusul sang sesepuh berjalan menghampiri kami. Berjalan?????? Sesuatu yang tidak pernah terbayang oleh kami, karena sepenglihatan kami, ia selalu ada di pembaringannya dan selalu dalam posisi berbaring sambil dikipas-kipas bak seorang raja. Belum juga rasa heran itu hilang, bertambah lagi rasa heran itu, mengapa?????? Karena ketika kami memberikan sekedar ucapan terima kasih dalam bentuk “amplop”, tiba-tiba dengan lantang ia berucap “terima kasih”. Ternyata….penantian itu muncul di hari akhir…. kata-kata yang selama ini kami tunggu … keluar dari mulutnya dengan jelas. Lalu, bagaimana dengan alur informasi yang terjadi selama ini, yang menggunakan sang asisten sebagai media dan pula berbahasa isyarat? he2 (Intani).

YANG TERCECER DI LAPANGAN II



Suatu hari aku bersama beberapa teman ditugaskan ke Cirebon untuk menginventarisasi makanan tradisional yang ada disana. Beberapa tempat sudah diagendakan untuk menjadi lokasi tujuan. Satu di antaranya adalah pasar Muludan yang pada saat itu  berlangsung di Cirebon. Harapan kami, kami dapat menemukan berbagai makanan yang hanya keluar di bulan Maulud.
            Tim sudah mengusahakan berangkat sepagi mungkin dari Bandung agar masih berkesempatan “bertualang” di pasar Muludan karena hari itu merupakan hari penutupan. Rencana hanyalah rencana. Oleh karena suatu kendala terjadi di perjalanan, baru menjelang magrib kami tiba di pasar Muludan. Khawatir pasar akan tutup, aku berdua teman perempuan langsung masuk arena pasar. Mulailah mata jelalatan memburu makanan.
            Tiba-tiba mata terantuk pada sesosok ibu yang sudah tergolong sepuh. Ia duduk pada batangan bata merah yang tersusun hingga menyerupai bangku kecil sambil tangannya mengipasi bara api dalam tungku. Melihat dari peralatan yang digunakan, katel kecil berbahan tanah liat serta perapian berupa tungku, tidak salah kalau ibu itu adalah seorang penjaja serabi.
            Girang hati mendapatkan “target”, aku mendekati lalu meminta izin untuk memfotonya. Tidak ada suara yang keluar sebagai jawaban, namun ia hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Spontan aku dan temanku mengambil ancang-ancang untuk memfotonya. Namun begitu ada kilatan yang muncul dari tustel, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sang penjual sontak berdiri sambil wajahnya menunjukkan amarah dan salah satu tangannya memegang kayu bakar. Tidak cukup hanya berdiri, tiba-tiba ia berlari ke arah kami dengan maksud untuk memukul. Tersadar kami akan dipukul, sontak kami lari. Beruntung ada seseorang yang melindungi kami dari kejaran dan menunjukkan arah ke mana kami harus lari. 
            Manakala kami sudah terselamatkan, masih dalam cengkeraman rasa takut, rasa heran dan tanda tanya terus bermunculan. Dari orang yang menyelematkan kami, terjawab sudah keheranan kami. Rupanya sang penjaja serabi memiliki gangguan jiwa, entah bagaimana sejarahnya. Di setiap acara Muludan, ia selalu mangkal di sana (Intani).



YANG TERCECER DI LAPANGAN



Pekerjaanku sehari-hari sebagai peneliti. Dari empat provinsi, beberapa daerah sudah aku jejaki, sudah tentu menjadi banyak cerita menarik yang aku alami. Salah satu pengalaman menarikku adalah yang kualami di salah satu provinsi. Ceritanya, aku bersama tiga rekan kerjaku mendapat tugas untuk melakukan penelitian. Materinya tentang arsitektur tradisional. Saat itu, kami pergi dengan naik bus malam.
Alhamdulillah, lokasi penelitian kami sekaligus bisa menjadi base camp. Orang yang menjadi informan kunci tinggal di sana dan kami diberi tempat untuk menginap. Bukan sekali itu saja kami menginap di sana namun lokasi penelitiannya berbeda kecamatan. Dengan  demikian, kami belum mengenal situasi dan kondisi daerah yang sekarang. 
Manakala kami sudah siap bekerja, mulailah kami memasuki satu rumah ke rumah tradisional yang lain untuk melakukan pengamatan, pengambilan gambar, dan wawancara dengan pemilik rumah. Di sana, sejumlah rumah masih konsisten mempertahankan arsitektur tradisional. Rumah yang kami datangi, kami pilih yang jaraknya paling jauh terlebih dulu.
Tiap-tiap kami mendatangi suatu rumah,  selalu ada pertanyaan dari tuan rumah dengan pertanyaan yang selalu sama,  yakni, apakah kami sudah mendatangi rumah tertua di sana. Mereka menunjuk satu rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menginap. Konon rumah itu sudah berusia ratusan tahun dan saat itu ditinggali oleh dua orang putera dari pemilik sebelumnya, satu perempuan dan satu laki-laki. Kami belum ke sana karena untuk rumah yang jaraknya dekat dengan kami menginap akan kami datangi belakangan.
Tibalah saatnya kami mendatangi rumah yang dikatakan orang-orang sebagai rumah tertua. Namanya juga rumah tua, ditambah sugesti, tidak aneh manakala kami baru saja menginjakkan kaki ke halamannya saja sudah ada perasaan “berbeda”, merinding. Di halaman rumah muncul seorang perempuan dewasa yang mengatakan sebagai pemilik rumah. Setelah kami menjelaskan maksud kedatangan kami dan dikuatkan dengan surat penugasan dari kantor, kami diberi izin untuk mewawancara, memasuki rumah, melakukan pengamatan, mengambil gambar dari satu ruangan ke ruangan lain. Setelah semua ruangan rumah sudah kami masuki, menurut pemiliknya,  ada satu ruangan lagi yang letaknya di atas. Ruangan itu dikatakan sebagai ruang tempat penyimpanan benda-benda pusaka tinggalan leluhurnya. Konon pula, tidak seorang pun diizinkan memasuki ruangan itu. Ruangan itu sudah puluhan tahun tidak terjamah.
Sekilas info tersebut  membuat kami menjadi penasaran. Kami berembuk untuk mendapatkan izin memasuki ruangan itu. Meski pemilik rumah mengatakan ruangan itu sangat gelap dan kami hanya boleh mengambil gambar dari tangga bagian paling atas, buat kami tidak menjadi maslah. Satu demi satu dari kami mulai menaiki tangga secara bergantian dengan rasa was-was. Betul, ruangan itu sangat gelap. Tidak ada setitik pun cahaya yang masuk. Wajar kalau tidak satu pun benda pusaka terlihat oleh kami. Dengan kondisi seperti itu, kamera dijepretkan ke segala arah dengan harapan  ada yang berhasil terekam.
Usai sudah kami bertugas di rumah tertua itu. Dengan mengucapkan terima kasih, kami akhiri kunjungan kami untuk selanjutnya kembali ke base camp. Di base camp, kami bercerita pada informan kami, soal kedatangan kami di rumah tertua itu. Beliau bertanya siapa yang menemui dan mengizinkan kami masuk. Konon, menurutnya, laki-laki yang ada di rumah itu, yang ketika kami datang sedang tidak ada di tempat, agak kurang wajar perilakunya. Ia memiliki perilaku yang agak aneh, tapi hanya pada saat malam bulan purnama.
Cerita belum juga selesai, orang yang diceritakan lewat di depan rumah informan kami dengan bersepeda. Secara tampilan, dari kejauhan tampak seperti orang kebanyakan, hanya rambutnya cukup panjang untuk ukuran laki-laki, kurang lebih sebahu pemiliknya. Konon kalau perilakunya yang tidak wajar itu datang, ia akan mengatakan sebagai sahabat Nabi dan sebagainya dan sebagainya.
Selagi kami masih asyik mengobrol,  tiba-tiba muncul perempuan pemilik rumah tertua itu. Ia mengatakan bahwa kakaknya sudah datang dan ingin bertemu dengan kami. Setelah berunding, kami memutuskan hanya dua teman laki-laki yang kembali ke rumah itu.
Pukul 11.00 teman laki-laki kami pergi ke rumah tua itu, namun hingga sekitar pukul 13.00 lebih  belum juga kembali. Manakala kami tanyakan lewat SMS, mereka bilang disandera. Mereka tidak boleh pulang kalau kami yang perempuan tidak menyusulnya. Tidak lama memang kami dijemput oleh perempuan pemilik rumah tertua itu. Dengan rasa takut,  demi bisa “melepaskan” teman-teman dari sanderaan, kami pergi.  Di sana kami langsung disambut dengan caci maki  dari laki-laki pemilik rumah tertua itu. Ditambah lagi, kami dihardik akan dibawa ke ranah adat karena dianggap telah melanggar adat, memasuki ruangan benda pusaka yang terlarang bagi orang luar. Kami juga disumpah kalau dalam perjalanan pulang kami ke Bandung  tidak seorang pun dari kami yang akan selamat.
Singkat kata, dengan penuh rasa takut, kami jelaskan bahwa kami sudah mendapatkan izin dari adiknya, juga kami harus segera meninggalkan rumah itu karena bus menuju Bandung menunggu di pukul 16.00. Selanjutnya, kami saling memberi isyarat dengan “mengusapkan” jari-jari tangan sebagai kode untuk menawarkan perdamaian dengan lembaran uang kertas. Dengan mengemis-ngemis, kami memohon untuk dimaafkan sambil  menaruhkan amplop di atas meja. Obrolan kami saat itu dilakukan di teras yang mana angin kencang menembus ke teras.
Sejenak, masih dengan amarah, laki-laki pemilik rumah yang terus berdiri sejak awal itu, mengambil asbak. Spontan kami berempat mengambil posisi menghindar. Ada yang merunduk, aku sendiri memiringkan badan, dengan maksud agar terhindar dari lemparan asbak. Apa yang kami takutkan ternyata meleset. Asbak yang sedari tadi ada di meja, di dekat amplop ditaruh, bukan ia ambil untuk dilemparkan pada kami. Tapi.....he2X, untuk mengganjal amplop yang ada di atas meja agar tidak terbawa angin. Huuuuhhhh lega rasanya.....sambil tidak percaya. Selanjutnya....bisalah ditebak. Intinya, kali itu ia mengulurkan tangan sebagai tanda memberikan maaf.......meski masih dengan nada tinggi dan ancaman agar kejadian itu tidak berulang. Tanpa menunggu waktu lagi dan karena jam sudah mendekati pukul 14.00 lebih, kami pamit. Berat rasanya kaki ini dibawa melangkah.  Begitu sampai di halaman rumah tertua itu, spontan kami berempat nyaris berlari, ingin segera melepaskan diri dari rasa yang mencengkeram. He2X............ruangan pusaka dikomersiilkan.