Saturday, 8 December 2018

YANG TERCECER DI LAPANGAN



Pekerjaanku sehari-hari sebagai peneliti. Dari empat provinsi, beberapa daerah sudah aku jejaki, sudah tentu menjadi banyak cerita menarik yang aku alami. Salah satu pengalaman menarikku adalah yang kualami di salah satu provinsi. Ceritanya, aku bersama tiga rekan kerjaku mendapat tugas untuk melakukan penelitian. Materinya tentang arsitektur tradisional. Saat itu, kami pergi dengan naik bus malam.
Alhamdulillah, lokasi penelitian kami sekaligus bisa menjadi base camp. Orang yang menjadi informan kunci tinggal di sana dan kami diberi tempat untuk menginap. Bukan sekali itu saja kami menginap di sana namun lokasi penelitiannya berbeda kecamatan. Dengan  demikian, kami belum mengenal situasi dan kondisi daerah yang sekarang. 
Manakala kami sudah siap bekerja, mulailah kami memasuki satu rumah ke rumah tradisional yang lain untuk melakukan pengamatan, pengambilan gambar, dan wawancara dengan pemilik rumah. Di sana, sejumlah rumah masih konsisten mempertahankan arsitektur tradisional. Rumah yang kami datangi, kami pilih yang jaraknya paling jauh terlebih dulu.
Tiap-tiap kami mendatangi suatu rumah,  selalu ada pertanyaan dari tuan rumah dengan pertanyaan yang selalu sama,  yakni, apakah kami sudah mendatangi rumah tertua di sana. Mereka menunjuk satu rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menginap. Konon rumah itu sudah berusia ratusan tahun dan saat itu ditinggali oleh dua orang putera dari pemilik sebelumnya, satu perempuan dan satu laki-laki. Kami belum ke sana karena untuk rumah yang jaraknya dekat dengan kami menginap akan kami datangi belakangan.
Tibalah saatnya kami mendatangi rumah yang dikatakan orang-orang sebagai rumah tertua. Namanya juga rumah tua, ditambah sugesti, tidak aneh manakala kami baru saja menginjakkan kaki ke halamannya saja sudah ada perasaan “berbeda”, merinding. Di halaman rumah muncul seorang perempuan dewasa yang mengatakan sebagai pemilik rumah. Setelah kami menjelaskan maksud kedatangan kami dan dikuatkan dengan surat penugasan dari kantor, kami diberi izin untuk mewawancara, memasuki rumah, melakukan pengamatan, mengambil gambar dari satu ruangan ke ruangan lain. Setelah semua ruangan rumah sudah kami masuki, menurut pemiliknya,  ada satu ruangan lagi yang letaknya di atas. Ruangan itu dikatakan sebagai ruang tempat penyimpanan benda-benda pusaka tinggalan leluhurnya. Konon pula, tidak seorang pun diizinkan memasuki ruangan itu. Ruangan itu sudah puluhan tahun tidak terjamah.
Sekilas info tersebut  membuat kami menjadi penasaran. Kami berembuk untuk mendapatkan izin memasuki ruangan itu. Meski pemilik rumah mengatakan ruangan itu sangat gelap dan kami hanya boleh mengambil gambar dari tangga bagian paling atas, buat kami tidak menjadi maslah. Satu demi satu dari kami mulai menaiki tangga secara bergantian dengan rasa was-was. Betul, ruangan itu sangat gelap. Tidak ada setitik pun cahaya yang masuk. Wajar kalau tidak satu pun benda pusaka terlihat oleh kami. Dengan kondisi seperti itu, kamera dijepretkan ke segala arah dengan harapan  ada yang berhasil terekam.
Usai sudah kami bertugas di rumah tertua itu. Dengan mengucapkan terima kasih, kami akhiri kunjungan kami untuk selanjutnya kembali ke base camp. Di base camp, kami bercerita pada informan kami, soal kedatangan kami di rumah tertua itu. Beliau bertanya siapa yang menemui dan mengizinkan kami masuk. Konon, menurutnya, laki-laki yang ada di rumah itu, yang ketika kami datang sedang tidak ada di tempat, agak kurang wajar perilakunya. Ia memiliki perilaku yang agak aneh, tapi hanya pada saat malam bulan purnama.
Cerita belum juga selesai, orang yang diceritakan lewat di depan rumah informan kami dengan bersepeda. Secara tampilan, dari kejauhan tampak seperti orang kebanyakan, hanya rambutnya cukup panjang untuk ukuran laki-laki, kurang lebih sebahu pemiliknya. Konon kalau perilakunya yang tidak wajar itu datang, ia akan mengatakan sebagai sahabat Nabi dan sebagainya dan sebagainya.
Selagi kami masih asyik mengobrol,  tiba-tiba muncul perempuan pemilik rumah tertua itu. Ia mengatakan bahwa kakaknya sudah datang dan ingin bertemu dengan kami. Setelah berunding, kami memutuskan hanya dua teman laki-laki yang kembali ke rumah itu.
Pukul 11.00 teman laki-laki kami pergi ke rumah tua itu, namun hingga sekitar pukul 13.00 lebih  belum juga kembali. Manakala kami tanyakan lewat SMS, mereka bilang disandera. Mereka tidak boleh pulang kalau kami yang perempuan tidak menyusulnya. Tidak lama memang kami dijemput oleh perempuan pemilik rumah tertua itu. Dengan rasa takut,  demi bisa “melepaskan” teman-teman dari sanderaan, kami pergi.  Di sana kami langsung disambut dengan caci maki  dari laki-laki pemilik rumah tertua itu. Ditambah lagi, kami dihardik akan dibawa ke ranah adat karena dianggap telah melanggar adat, memasuki ruangan benda pusaka yang terlarang bagi orang luar. Kami juga disumpah kalau dalam perjalanan pulang kami ke Bandung  tidak seorang pun dari kami yang akan selamat.
Singkat kata, dengan penuh rasa takut, kami jelaskan bahwa kami sudah mendapatkan izin dari adiknya, juga kami harus segera meninggalkan rumah itu karena bus menuju Bandung menunggu di pukul 16.00. Selanjutnya, kami saling memberi isyarat dengan “mengusapkan” jari-jari tangan sebagai kode untuk menawarkan perdamaian dengan lembaran uang kertas. Dengan mengemis-ngemis, kami memohon untuk dimaafkan sambil  menaruhkan amplop di atas meja. Obrolan kami saat itu dilakukan di teras yang mana angin kencang menembus ke teras.
Sejenak, masih dengan amarah, laki-laki pemilik rumah yang terus berdiri sejak awal itu, mengambil asbak. Spontan kami berempat mengambil posisi menghindar. Ada yang merunduk, aku sendiri memiringkan badan, dengan maksud agar terhindar dari lemparan asbak. Apa yang kami takutkan ternyata meleset. Asbak yang sedari tadi ada di meja, di dekat amplop ditaruh, bukan ia ambil untuk dilemparkan pada kami. Tapi.....he2X, untuk mengganjal amplop yang ada di atas meja agar tidak terbawa angin. Huuuuhhhh lega rasanya.....sambil tidak percaya. Selanjutnya....bisalah ditebak. Intinya, kali itu ia mengulurkan tangan sebagai tanda memberikan maaf.......meski masih dengan nada tinggi dan ancaman agar kejadian itu tidak berulang. Tanpa menunggu waktu lagi dan karena jam sudah mendekati pukul 14.00 lebih, kami pamit. Berat rasanya kaki ini dibawa melangkah.  Begitu sampai di halaman rumah tertua itu, spontan kami berempat nyaris berlari, ingin segera melepaskan diri dari rasa yang mencengkeram. He2X............ruangan pusaka dikomersiilkan.