Pekerjaanku
sehari-hari
sebagai peneliti. Dari empat provinsi,
beberapa daerah sudah aku jejaki, sudah tentu menjadi banyak cerita menarik
yang aku alami. Salah satu pengalaman menarikku adalah yang kualami di salah satu provinsi. Ceritanya, aku bersama tiga rekan
kerjaku mendapat tugas untuk melakukan penelitian. Materinya tentang arsitektur
tradisional. Saat itu, kami pergi dengan naik bus malam.
Alhamdulillah, lokasi penelitian kami
sekaligus bisa menjadi base camp.
Orang yang menjadi informan kunci tinggal di sana dan
kami diberi tempat untuk menginap. Bukan sekali itu saja kami menginap di sana namun lokasi penelitiannya berbeda kecamatan.
Dengan demikian, kami belum mengenal
situasi dan kondisi daerah yang sekarang.
Manakala kami sudah siap bekerja,
mulailah kami memasuki satu rumah ke rumah
tradisional yang lain untuk melakukan pengamatan, pengambilan gambar, dan
wawancara dengan pemilik rumah. Di sana, sejumlah rumah masih konsisten
mempertahankan arsitektur tradisional. Rumah yang kami datangi, kami pilih yang
jaraknya paling jauh terlebih dulu.
Tiap-tiap kami mendatangi suatu
rumah, selalu ada pertanyaan dari tuan
rumah dengan pertanyaan yang selalu sama,
yakni, apakah kami sudah mendatangi rumah
tertua di sana. Mereka menunjuk satu rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat
kami menginap. Konon rumah itu sudah berusia ratusan tahun dan saat itu
ditinggali oleh dua orang putera dari pemilik sebelumnya, satu perempuan dan
satu laki-laki. Kami belum ke sana karena
untuk rumah yang jaraknya dekat dengan kami menginap akan kami datangi
belakangan.
Tibalah saatnya kami mendatangi
rumah yang dikatakan orang-orang sebagai rumah tertua. Namanya juga rumah tua,
ditambah sugesti, tidak aneh manakala kami baru saja menginjakkan kaki ke
halamannya saja sudah ada perasaan “berbeda”, merinding. Di
halaman rumah muncul seorang perempuan dewasa yang mengatakan sebagai pemilik
rumah. Setelah kami
menjelaskan maksud kedatangan kami dan dikuatkan dengan surat penugasan dari kantor,
kami diberi izin untuk mewawancara, memasuki rumah, melakukan pengamatan,
mengambil gambar dari satu ruangan ke ruangan lain. Setelah semua ruangan rumah
sudah kami masuki, menurut pemiliknya, ada satu ruangan lagi yang letaknya di
atas. Ruangan itu dikatakan sebagai ruang tempat penyimpanan benda-benda pusaka
tinggalan leluhurnya. Konon pula, tidak seorang pun
diizinkan memasuki ruangan itu. Ruangan itu sudah puluhan tahun tidak terjamah.
Sekilas info tersebut membuat kami menjadi penasaran.
Kami berembuk untuk mendapatkan izin memasuki ruangan itu. Meski pemilik rumah
mengatakan ruangan itu sangat gelap dan kami hanya boleh mengambil gambar dari
tangga bagian paling atas, buat kami tidak menjadi maslah. Satu demi
satu dari kami mulai menaiki tangga secara bergantian dengan rasa was-was. Betul,
ruangan itu sangat gelap. Tidak ada setitik pun
cahaya yang masuk. Wajar kalau tidak satu pun benda pusaka terlihat oleh kami. Dengan
kondisi seperti itu, kamera dijepretkan ke segala arah dengan harapan ada yang berhasil terekam.
Usai sudah kami bertugas di rumah
tertua itu. Dengan mengucapkan terima kasih, kami akhiri kunjungan kami untuk
selanjutnya kembali ke base camp. Di base camp, kami bercerita pada informan kami,
soal kedatangan kami di rumah tertua itu. Beliau bertanya siapa
yang menemui dan mengizinkan kami masuk. Konon, menurutnya, laki-laki yang ada
di rumah itu, yang ketika kami datang sedang tidak ada di tempat, agak kurang
wajar perilakunya. Ia memiliki perilaku yang agak aneh, tapi hanya pada saat
malam bulan purnama.
Cerita belum juga selesai, orang
yang diceritakan lewat di depan rumah informan kami dengan bersepeda. Secara
tampilan, dari kejauhan tampak seperti orang kebanyakan, hanya rambutnya cukup
panjang untuk ukuran laki-laki, kurang lebih sebahu pemiliknya. Konon
kalau perilakunya yang tidak wajar itu datang, ia akan mengatakan sebagai
sahabat Nabi dan sebagainya dan sebagainya.
Selagi kami masih asyik
mengobrol, tiba-tiba muncul perempuan
pemilik rumah tertua itu. Ia mengatakan bahwa kakaknya sudah datang dan ingin
bertemu dengan kami. Setelah berunding, kami memutuskan hanya dua teman
laki-laki yang kembali ke rumah itu.
Pukul 11.00 teman
laki-laki kami pergi ke rumah tua itu, namun hingga sekitar pukul
13.00 lebih belum juga kembali. Manakala
kami tanyakan lewat SMS, mereka bilang disandera. Mereka tidak boleh pulang
kalau kami yang perempuan tidak menyusulnya. Tidak lama memang kami dijemput
oleh perempuan pemilik rumah tertua itu. Dengan rasa takut, demi bisa “melepaskan” teman-teman dari
sanderaan, kami pergi. Di sana kami langsung
disambut dengan caci maki dari laki-laki
pemilik rumah tertua itu. Ditambah lagi, kami dihardik akan dibawa ke ranah
adat karena dianggap telah melanggar adat, memasuki ruangan benda pusaka yang
terlarang bagi orang luar. Kami juga disumpah kalau dalam perjalanan pulang
kami ke Bandung tidak seorang pun dari kami yang akan selamat.
Singkat kata, dengan
penuh rasa takut, kami jelaskan bahwa kami sudah mendapatkan izin dari adiknya,
juga kami harus segera meninggalkan rumah itu karena bus menuju Bandung
menunggu di pukul 16.00. Selanjutnya, kami saling memberi isyarat dengan “mengusapkan”
jari-jari tangan sebagai kode untuk menawarkan perdamaian dengan lembaran uang
kertas. Dengan mengemis-ngemis, kami memohon untuk dimaafkan sambil menaruhkan
amplop di atas meja. Obrolan kami saat itu dilakukan di teras yang mana angin
kencang menembus ke teras.
Sejenak, masih dengan amarah,
laki-laki pemilik rumah yang terus berdiri sejak awal itu, mengambil asbak.
Spontan kami berempat mengambil posisi menghindar. Ada yang merunduk, aku
sendiri memiringkan badan, dengan maksud agar terhindar dari lemparan asbak.
Apa yang kami takutkan ternyata meleset. Asbak yang sedari tadi ada di meja, di
dekat amplop ditaruh, bukan ia ambil untuk dilemparkan pada
kami. Tapi.....he2X, untuk mengganjal amplop yang ada di atas meja agar tidak terbawa angin.
Huuuuhhhh lega rasanya.....sambil tidak percaya. Selanjutnya....bisalah ditebak.
Intinya, kali itu ia mengulurkan tangan sebagai tanda memberikan
maaf.......meski masih dengan nada tinggi dan ancaman agar kejadian itu tidak
berulang. Tanpa menunggu waktu lagi dan karena jam sudah mendekati pukul 14.00
lebih, kami pamit. Berat rasanya kaki ini dibawa melangkah. Begitu
sampai di halaman rumah tertua itu, spontan kami berempat nyaris berlari, ingin
segera melepaskan diri dari rasa yang mencengkeram. He2X............ruangan
pusaka dikomersiilkan.