Saturday, 8 December 2018

YANG TERCECER DI LAPANGAN III



Kami bertujuh melakukan penelitian di salah satu kampung adat yang berada di sebuah provinsi. Karena perjalanan cukup jauh, baru sore hari kami sampai di sana. Beruntung setelah melapor pada sesepuh adat yang diwakili oleh asistennya,  kami ditawarkan untuk menginap di rumahnya. 
Rumahnya yang beratap rumbia, berdinding bilik, dan beralas bambu yang berfungsi sebagai ubin, terlihat unik bagi kami yang tinggal di kota. Bagian dalam rumah terbagi atas ruang tamu, ruang untuk sesepuh adat “bekerja”, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Ruang tamu dengan ruang untuk sesepuh adat “bekerja” berada dalam satu ruangan yang luas. Tapi posisi ruang tamu lebih rendah dari ruang sesepuh adat.   
Di ruang tamu yang beralas tikar, di situlah tempat kami tidur, berdiskusi dengan teman, makan, membuat laporan, dan lain-lain.  Kami tidak berencana lama di sana, jadi kami harus bekerja di lapangan semaksimal mungkin. Setiap pagi, sehabis sarapan, kami sudah meninggalkan rumah inap, terjun ke lapangan untuk mencari data. Kembali ke rumah inap waktu salat dhuhur dan makan siang, lalu dilanjutkan lagi mencari data, dan baru kembali ke rumah inap sore hari.
Karena rutinitas seperti itu maka hanya usai magriblah kami dapat melihat sosok sang sesepuh adat. Meskipun begitu, meski beberapa hari kami di sana, kami belum sekalipun dapat berkomunikasi secara langsung dengannya. Ketika kami memerlukan informasi dari sesepuh adat dan ingin mewawancarainya, sesepuh adat tidak menemui kami di ruang tamu, melainkan kami yang naik ke “ruang kerja”nya. Di sana kami duduk dekat sang asisten, sedang sesepuh itu sendiri berbaring pada sebuah kasur yang berukuran minimalis. Pertanyaan-pertanyaan kami disambungkan oleh sang asisten kepada sesepuh adat, sambil satu tangan sang asisten mengipasi sang sesepuh yang dalam posisi baring. 

Usai sang asisten menyampaikan pertanyaan dari kami, sang sesepuh menjawab dengan suara perlahan, nyaris berbisik kepada sang asisten. Suara yang sempat terdengar oleh kami, tidak ada yang dapat kami mengerti. Demikian seterusnya alur informasi yang terjadi. Dan…bukan kepada kami saja alur informasi itu berlaku, kepada yang lainpun sama. Maksudnya adalah dengan tamu-tamu yang datang untuk berkonsultasi.  

Ya…sang sesepuh selain sebagai sesepuh adat di kampungnya, ia juga menjadi tempat bertanya orang-orang dari berbagai tempat. Konon, ia dikenal sebagai orang “pintar”,  tidak heran kalau selepas magrib banyak orang datang untuk berkonsultasi. Konsultasi  tentang peruntungan,  penyakit,  hari baik untuk melaksanakan hajat,  jodoh, laku dalam berjualan, dan lain-lain.   

Suatu hari, tiba waktunya kami harus pulang. Usai membereskan semua bawaan, kami berpamitan kepada sang asisten dan istri sang sesepuh selaku tuan rumah. Tak dinyana, tidak lama menyusul sang sesepuh berjalan menghampiri kami. Berjalan?????? Sesuatu yang tidak pernah terbayang oleh kami, karena sepenglihatan kami, ia selalu ada di pembaringannya dan selalu dalam posisi berbaring sambil dikipas-kipas bak seorang raja. Belum juga rasa heran itu hilang, bertambah lagi rasa heran itu, mengapa?????? Karena ketika kami memberikan sekedar ucapan terima kasih dalam bentuk “amplop”, tiba-tiba dengan lantang ia berucap “terima kasih”. Ternyata….penantian itu muncul di hari akhir…. kata-kata yang selama ini kami tunggu … keluar dari mulutnya dengan jelas. Lalu, bagaimana dengan alur informasi yang terjadi selama ini, yang menggunakan sang asisten sebagai media dan pula berbahasa isyarat? he2 (Intani).