Saturday, 8 December 2018

YANG TERCECER DI LAPANGAN II



Suatu hari aku bersama beberapa teman ditugaskan ke Cirebon untuk menginventarisasi makanan tradisional yang ada disana. Beberapa tempat sudah diagendakan untuk menjadi lokasi tujuan. Satu di antaranya adalah pasar Muludan yang pada saat itu  berlangsung di Cirebon. Harapan kami, kami dapat menemukan berbagai makanan yang hanya keluar di bulan Maulud.
            Tim sudah mengusahakan berangkat sepagi mungkin dari Bandung agar masih berkesempatan “bertualang” di pasar Muludan karena hari itu merupakan hari penutupan. Rencana hanyalah rencana. Oleh karena suatu kendala terjadi di perjalanan, baru menjelang magrib kami tiba di pasar Muludan. Khawatir pasar akan tutup, aku berdua teman perempuan langsung masuk arena pasar. Mulailah mata jelalatan memburu makanan.
            Tiba-tiba mata terantuk pada sesosok ibu yang sudah tergolong sepuh. Ia duduk pada batangan bata merah yang tersusun hingga menyerupai bangku kecil sambil tangannya mengipasi bara api dalam tungku. Melihat dari peralatan yang digunakan, katel kecil berbahan tanah liat serta perapian berupa tungku, tidak salah kalau ibu itu adalah seorang penjaja serabi.
            Girang hati mendapatkan “target”, aku mendekati lalu meminta izin untuk memfotonya. Tidak ada suara yang keluar sebagai jawaban, namun ia hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Spontan aku dan temanku mengambil ancang-ancang untuk memfotonya. Namun begitu ada kilatan yang muncul dari tustel, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sang penjual sontak berdiri sambil wajahnya menunjukkan amarah dan salah satu tangannya memegang kayu bakar. Tidak cukup hanya berdiri, tiba-tiba ia berlari ke arah kami dengan maksud untuk memukul. Tersadar kami akan dipukul, sontak kami lari. Beruntung ada seseorang yang melindungi kami dari kejaran dan menunjukkan arah ke mana kami harus lari. 
            Manakala kami sudah terselamatkan, masih dalam cengkeraman rasa takut, rasa heran dan tanda tanya terus bermunculan. Dari orang yang menyelematkan kami, terjawab sudah keheranan kami. Rupanya sang penjaja serabi memiliki gangguan jiwa, entah bagaimana sejarahnya. Di setiap acara Muludan, ia selalu mangkal di sana (Intani).