Suatu hari aku bersama beberapa teman ditugaskan ke
Cirebon untuk menginventarisasi makanan tradisional yang ada disana. Beberapa
tempat sudah diagendakan untuk menjadi lokasi tujuan. Satu di antaranya adalah pasar
Muludan yang pada saat itu berlangsung
di Cirebon. Harapan kami, kami dapat menemukan berbagai makanan yang hanya
keluar di bulan Maulud.
Tim
sudah mengusahakan berangkat sepagi mungkin dari Bandung agar masih berkesempatan
“bertualang” di pasar Muludan karena hari itu merupakan hari penutupan. Rencana
hanyalah rencana. Oleh karena suatu kendala terjadi di perjalanan, baru
menjelang magrib kami tiba di pasar Muludan. Khawatir pasar akan tutup, aku
berdua teman perempuan langsung masuk arena pasar. Mulailah mata jelalatan
memburu makanan.
Tiba-tiba
mata terantuk pada sesosok ibu yang sudah tergolong sepuh. Ia duduk pada
batangan bata merah yang tersusun hingga menyerupai bangku kecil sambil
tangannya mengipasi bara api dalam tungku. Melihat dari peralatan yang
digunakan, katel kecil berbahan tanah liat serta perapian berupa tungku, tidak
salah kalau ibu itu adalah seorang penjaja serabi.
Girang
hati mendapatkan “target”, aku mendekati lalu meminta izin untuk memfotonya.
Tidak ada suara yang keluar sebagai jawaban, namun ia hanya mengangguk sebagai tanda
setuju. Spontan aku dan temanku mengambil ancang-ancang untuk memfotonya. Namun
begitu ada kilatan yang muncul dari tustel, sesuatu yang tidak diinginkan
terjadi. Sang penjual sontak berdiri sambil wajahnya menunjukkan amarah dan salah
satu tangannya memegang kayu bakar. Tidak cukup hanya berdiri, tiba-tiba ia
berlari ke arah kami dengan maksud untuk memukul. Tersadar kami akan dipukul,
sontak kami lari. Beruntung ada seseorang yang melindungi kami dari kejaran dan
menunjukkan arah ke mana kami harus lari.
Manakala kami sudah
terselamatkan, masih dalam cengkeraman rasa takut, rasa heran dan tanda tanya
terus bermunculan. Dari orang yang menyelematkan kami, terjawab sudah keheranan
kami. Rupanya sang penjaja serabi memiliki gangguan jiwa, entah bagaimana sejarahnya.
Di setiap acara Muludan, ia selalu mangkal di sana (Intani).